Mandailing
bukan Batak berdasarkan Kitab Tua Mpu Prapanca, Negarakertama
Patut diingat, catatan ini ada Kitab Tertua yang
pernah ada di Indonesia
dan diakui kebenarannya oleh UNICEF dan Dunia Ilmiah.
Dalam kitab tersebut Mpu Prapanca
(Ompung Prapanca: dalam bahasa mandailing) mencatat banyak hal tentang
Majapahit, termasuk negara yang ditaklukkannya. Mpu Prapanca menyebut belahan
timur adalah Melayu, termasuk di dalamnya; Mandailing, Pane (Panai), Toba,
Barus dan lain-lain. Saat itu Toba, Mandailing dan Barus dikategorikan rumpun
Melayu.
Tidak ada BATAK pada saat itu. Istilah Batak muncul kemudian dari orang-orang pesisir yang merasa lebih beradab, batak adalah istilah untuk orang pedalaman. Tidak ada kata Batak dalam kosa kata kuno (Sanskerta).
Tidak ada BATAK pada saat itu. Istilah Batak muncul kemudian dari orang-orang pesisir yang merasa lebih beradab, batak adalah istilah untuk orang pedalaman. Tidak ada kata Batak dalam kosa kata kuno (Sanskerta).
Sekitar tahun 1365 M, peradaban di
pedalaman Sumatera masih sangat primitif, dan kanibalisme masih sangat
dimungkinkan terjadi (kanibalisme paling mutakhir dicatat dalam sejarah adalah
kanibalisme pada Missionaris, kejadian antara Sibolga dan Tarutung). Peradaban
berpusat di tepian sungai Barumun, dan Sungai Batang Pane. Dan Mandailing yang
tidak terlalu besar berpusat di Kerajaan Pulungan, tepi Sungai Batang Gadis.
Ada satu masa ketika pedalaman batak masih kanibal tapi di belahan Madailing
dan Panai sudah dibangun candi.
Mandailing atau Mandahiling bisa berarti clan itu asalnya dari bahasa Sanskrit, varga yaitu warga
atau warna , ditambah imbuhan ma
atau mar, menjadi mavarga atau marvarga, artinya berwarga,
dan disingkat menjadi marga. Marga itu sendiri bermakna kelompok atau
puak orang yang berasal dari satu keturunan atau satu dusun. Marga juga
bisa berasal dari singkatan 'naMA keluaRGA'. Tidak semua orang Mandailing
mencantumkan marga dalam namanya, karena dianggap cukup sebagai identitas
antara orang Mandailing/Mandahiling sendiri.
Etnis Mandailing hanya mengenal sekitar
belasan marga, antara lain Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri,
Lintang, Harahap, Hasibuan (Nasibuan), Rambe, Dalimunthe, Rangkuti (Ra Kuti),
Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, Hutasuhut.
Menurut Abdoellah Loebis, marga-marga di
Mandailing Julu dan Pakantan adalah seperti berikut: Lubis (yang terbahagi
kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa Soro), Nasution, Parinduri, Batu Bara,
Matondang, Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan. Marga-marga di Mandailing
Godang adalah Nasution yang terbagi kepada Nasution Panyabungan, Tambangan,
Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain; Lubis,
Hasibuan, Harahap, Batu Bara, Matondang (keturunan Hasibuan), Rangkuti, Mardia,
Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan, Rambe, Mangintir, Nai Monte, Panggabean,
Tangga Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan Parinduri asalnya satu marga.)
Menurut Basyral Hamidy Harahap dan
Hotman M. Siahaan, di Angkola dan Sipirok terdapat marga-marga Pulungan, Baumi,
Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Di Padang Lawas, terdapat marga-marga
Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis.
Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam
buku berjudul Horja, marga-marga di Mandailing antara lain Babiat,
Dabuar, Baumi, Dalimunthe, Dasopang, Daulae, Dongoran, Harahap, Hasibuan,
Hutasuhut, Lubis, Nasution, Pane, Parinduri, Pasaribu, Payung, Pohan, Pulungan,
Rambe, Rangkuti, Ritonga, Sagala, Simbolon, Siregar, Tanjung.
Adapun nama Batak tidak diketahui asal
usulnya, sejelas Toba, Mandailing, Pane dan Barus.
Mandailing untuk menyebutkan wilayah cukup luas yang mendiami tepi Sungai Batang Gadis namun terlalu kecil jika dibanding kerajaan Majapahit di abad 13 M. Hal itu disebabkan hampir semua pulau Sumatera pada saat itu masih tertutup hutan belantara berbanding terbalik dengan pulau Jawa bagian utara yang datar, subur dan cocok untuk tempat tinggal dan pertanian, maka orang Mandailing masa silam masih suka berpindah-pindah.
Mandailing untuk menyebutkan wilayah cukup luas yang mendiami tepi Sungai Batang Gadis namun terlalu kecil jika dibanding kerajaan Majapahit di abad 13 M. Hal itu disebabkan hampir semua pulau Sumatera pada saat itu masih tertutup hutan belantara berbanding terbalik dengan pulau Jawa bagian utara yang datar, subur dan cocok untuk tempat tinggal dan pertanian, maka orang Mandailing masa silam masih suka berpindah-pindah.
Toba, Mandailing dan Padang Lawas adalah
kawasan segitiga emas pada masa itu dan pusat peradaban dan penyebaran agama
ada di Padang Lawas. Itulah logika satu-satunya kenapa banyak terdapat kesamaan
bahasa dan budaya.
Mandailing dikemudian hari lebih
konsentrasi di Penyabungan dan Pidoli (Piudelhi) setelah Gajah Mada
menghancurkan Kerajaan Pane, dan banyak penduduk, tentara dan aliansi Pane
masuk kepedalaman di Penyabungan. Mereka inilah yang mendiami Huta Siantar dan
Siladang. Sejatinya penduduk Siladang adalah tentara Sriwijaya yang dikebiri
pasukan Gajah Mada dari Padang Lawas. Kerajaan Pane adalah sekutu Kerajaan
Sriwijaya. Para pendatang ini kemudian lebur menjadi orang Mandailing dan
mengadopsi marga setempat. Sibaroar bisa mendominasi pengaruh Pulungan berkat
para pendatang ini. Banyak orang Siladang menjadi Nasution, demikian mungkin
juga orang Pane yang terusir itu.
Apa yang dimaksud Mandailing, pada
akhirnya hanya menunjuk pada wilayah saja. Jika seseorang merasa dirinya punya
silsilah yang mengakar ke tanah Toba dan tinggal di Mandailing, maka ia menjadi
orang Mandailing, tentu saja jika ia mau. Mandailing tidak hanya di isi oleh
“orang mandailing” saja, tetapi patut di ingat, pendeta Hindu yang berkulit
hitam itu hingga sekarang menetap di Mandailing, rombongan dari Aceh (Tapak
Tuan) menjadi Rangkuti dan beberapa pedagang Cina menjadi Lubis. Menurut salah
satu sumber, Marga Lubis berasal dari Bugis. Intinya, Mandailing lebih
heterogen dari Toba. Itulah kenapa tarombo Toba lebih rapi dari tarombo
Mandailing.
Apakah
Mandailing itu Batak sekarang tergantung dari mana anda melihatnya. Tapi yang
pasti Mandailing tidak berasal dari Batak adalah fakta yang harus di akui.
Dan sejarah telah membuktikan sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak.
Dan sejarah telah membuktikan sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak.
Penolakan
masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak,
sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus
Pekuburan Sungai Mati (1922), dan Kasus
Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).
Menjadi seorang Batak atau Mandailing
adalah dua pilihan buat penduduk yang berasal dari tanah Mandailing dan pilihan
itu ada di tangan Anda….!!!!